Wednesday, January 31, 2018

Jika Waktu Bisa Kembali

Aku merenung.
Dan pernah terlintas untuk mengulang kembali waktu
Saat dimana sebagian besar orang hanya ingin mengulang moment-moment terbaiknya
Kenangan-kenangan manisnya
Namun aku akan sangat berbeda jika benar waktu lalu bisa terjadi lagi
Aku memilih untuk tak melupakan kenangan yang buruk
Karena dengan itu aku akan menghargai setiap kenangan indah
Dan tersenyum lebih lepas
Hidup tak selamanya pahit
Hidup juga tak melulu manis
Mereka berjalan beriringan
Itu yang kuyakini
Jadi ketika aku mengalami hal buruk, cukup percaya bahwa setelahnya Tuhan telah menyiapkan hadiah yang indah
Begitu juga sebaliknya ketika aku sedang bahagia aku harus ingat
Bahagiaku harus pada tempatnya
Pada porsinya
Semua ada takarannya
Semua ada masanya
Tuhan maha adil, yang kita perlu lakukan adalah percaya

Sunday, January 28, 2018

PELAYAN SEPI



Aku heran, kenapa sepi selalu bertamu saat malam
Namun aku tak langsung menanyai
Aku terlebih dulu menyapa dan menjamunya
Hingga habis jamuanku, lantas aku bertanya
Eh sepi, kenapa sih datangmu membuatku galau?
Sepi tak berucap sepatah kata pun
Hanya menjawab pertanyaanku dengan kenangan-kenangan masa lalu
Saat itu sepi belum tahu rumahku
Maka itu ia tak pernah bertamu
Saat itu kau masih bersamaku
Yang ku tahu bahagia, karena sepi belum mencariku
Jika kau datang sekali lagi ingin ku tanyai
Maukah kau mengusirkan sepi untukku lagi ?
Kembalilah dan jangan pernah pergi

PECANDU KANTUK



Lelap sering membuatku kalap
Tak cukup bermimpi di malam hari
Aku melanjutkannya di kelas pelajaran seni
Guruku bilang kita harus punya mimpi
Maka aku berlomba menciptakan banyak mimpi
Namun tak jarang mimpiku terputus karena keusilan teman-temanku
Dan mereka mencurinya di lain waktu
Aku berusaha mendapatkan mimpiku kembali
Bukan lagi di kelas seni, kali ini di kelas menyanyi
Aku murid paling hebat dalam bernyanyi
Namun banyak yang tidak suka dengan nyanyianku
Bahkan nyanyian kodok saat hujan lebih merdu kata guruku
Padahal nyanyianku alami tak ku buat-buat
Terlahir saat tidur, nyanyianku adalah dengkur
Hingga sekarang aku masih suka bermimpi
Bermimpi sambil bernyanyi
Tapi cita-citaku bukan menjadi pemimpi atau penyanyi
Melainkan menghasilkan dengkur yang lebih merdu dari kodok saat hujan di sore hari

Thursday, January 25, 2018

SURAT UNDANGAN


Matahari membangunkanku dengan sekali ketuk pintu
Meraih tanganku yang masih kaku menggenggam selimut rindu
Aku menemaninya berbincang di beranda
Menyeduh secangkir air mata sebagai pelengkapnya
Ku biarkan sinarnya melahap air mata yang mendidih di cangkirku
Menghapus kata demi kata dan mengosongkan isi cangkirku
Aku seperti terpukul jatuh, sejatuh-jatuhnya
Tersungkur di bibir jurang dan ditelan habis, sehabis-habisnya
Tanpa bius, aku mati rasa
Membaca surat undangan bertulis namamu dengan dia
Semoga Tuhan menyempurnakan cinta kalian berdua
Dan pernikahan sebagai ibadah kepada-Nya

IBUKOTA



Malam kelam menyelimuti ibukota
Menggiring tidur  anak kota tanpa bapaknya
Di tiup angin sepi di tenggelamkan tanpa sisa
Tak ada hujan, tak ada petir, hanya kosong seperti biasa

Ibukota duduk memangku belahan jiwanya
Matanya tak lepas memperhatikan dengkur anak kota
Sesekali ia kecup kening anak kota dan berujar dalam hatinya
“Kasihan kamu nak, sudah lama tidak mendengkur dengan bapak”

Bapak kota pamitnya pergi keluar kota
Mungkin pulang pun sudah lupa
Mungkin juga ia sengaja mencari ibukota lainnya

BEGADANG DENGAN KURSI GOYANG



Di bawah remang aku duduk membaring pinggang
Menggoyang ingatan menggetar harapan
Melenggang fikir yang semakin fakir
Aku memijat-mijat tengkuk menuju kantuk
Tapi sakitnya menjalar pindah ke ingatan

Ibu mendatangiku menyuruhku ke dalam
Aku hanya menyahut dengan bosan
“Aku menunggu ayah pulang” kataku
Ibu lalu menjawabku dengan isakan

Lama aku bercerita dengan bintang
Bergosip masa kecil dan tertawa riang
Bercanda dengan bintang, berpangku dengan kursi goyang
Ku biarkan ingatanku terbang melayang-layang
Hingga tiba pada pohon manga di pekarangan
Yang buahnya manis bukan kepayang
Ayah menyuapiku di pangkuan ibu
Diatas rumput hijau bersandar pada pundak ayahku

Tiba-tiba ada yang memecah lamunanku
Perawakannya tinggi, berkumis hitam, berbadan kekar
“Masuklah ke rumah, kalau tidak badanmu akan kedinginan”
“Baru pulang? Dari rumah perempuan itu lagi?”
“Dasar kencur, usap saja ingusmu” Sambil berlalu meninggalkanku
Aku pun melanjutkan ceritaku, dan menunggu kembali ayahku, Ayah 20 tahun lalu

Sendiri

Jika saatnya tiba Senja pasti akan kehilangan sinarnya Lalu kegelapan merajai Jika saatnya tiba Laut juga akan kehilangan deburnya ...